KEDIRI - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan Forum Alumni Aktivis Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) mengadakan Seminar Nasional sekaligus Peringatan World Press Freedom Day 2025 di Auditorium IAIN Kediri, Minggu (4/5/2025). Bertema 'Memperkuat Perlindungan Terhadap Pers Mahasiswa di Era Digital', acara ini mendapat dukungan penuh dari UNESCO.
AJI menilai pers mahasiswa memiliki peran penting dalam ekosistem perguruan tinggi, khususnya untuk melawan konten berbahaya di ranah digital. Sebagai media independen kalangan muda, pers mahasiswa tidak hanya mengangkat isu kampus, tetapi juga permasalahan masyarakat secara luas dengan pendekatan kritis dan analitis.
Namun, pers mahasiswa masih menghadapi sejumlah tantangan. Mulai dari ancaman fisik dan digital hingga keterbatasan akses untuk pengembangan kapasitas profesional.
Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida, mengungkapkan bahwa indeks kebebasan pers Indonesia merosot ke peringkat 127 dari 180 negara berdasarkan World Press Freedom Index 2025 oleh Reporters Without Borders (RSF), turun dari posisi 111 pada 2024 dan 108 pada 2023.
"Kebebasan pers di Indonesia jauh dari ideal, bahkan memburuk. Kekerasan terhadap jurnalis, termasuk pers mahasiswa, masih sering terjadi, namun jarang dibahas dalam laporan resmi," ujar Nany dalam sambutannya.
Tantangan ke depan, sambung Nany, semakin kompleks. Pers mahasiswa disebut tidak hanya menghadapi disinformasi dan hoaks, tetapi juga tekanan dari institusi, sensor, hingga serangan digital.
Semangat yang sama diusung UNESCO. Perwakilan UNESCO, Ana Lomtadze, menegaskan bahwa pers mahasiswa merupakan suara strategis di universitas, mewakili media independen pemuda yang kritis.
"Kemarin kita memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia yang menyoroti pengaruh AI terhadap kebebasan berekspresi dan lanskap media. Transformasi digital membawa perubahan besar, termasuk ketimpangan kekuatan antara komunitas lokal dan entitas global yang terkadang dimanfaatkan untuk mengawasi ruang sipil," ungkap Ana.
Menurut Ana, pers mahasiswa berperan besar dalam melaporkan isu publik, memerangi disinformasi, dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Oleh karena itu, literasi media menjadi kunci untuk membekali mereka dalam menavigasi lanskap digital secara kritis dan aman.
"Literasi media membantu mahasiswa berpikir kritis, memverifikasi fakta, dan mengenali informasi yang benar. Ini penting untuk menghasilkan jurnalisme independen yang melayani publik," jelas Ana.
UNESCO dan AJI juga berkomitmen menjaga etika jurnalisme dan keamanan digital bagi pers mahasiswa.
Seminar hari pertama ini menghadirkan empat pembicara. Sekjen PPMI Wahyu Gilang memaparkan data represi terhadap pers mahasiswa, mencatat 331 kasus kekerasan dari 2013 hingga 2021, yang melibatkan birokrasi kampus, organisasi, hingga aparat.
Nany Afrida berbagi pengalaman sebagai wartawan, sementara Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dan Direktur Eksekutif LBH Pers Mustafa Layong membahas relevansi pers mahasiswa di era digital.
Dipandu oleh Kepala Desk Humaniora Harian Kompas Evy Rachmawati, seminar berlangsung interaktif dengan diskusi dua arah yang hangat.[]